A.    IDEALITAS ASAS-ASAS DAN PRINSIP UU MINERBA
Asas atau prinsip dasar yang digunakan dalam perubahan UU Minerba meliputi empat dasar: azas manfaat, adil dan merata, kelestarian lingkungan hidup, dan kepastian hukum. Idealnya, keempat asas dasar tersebut kemudian harus terejawantahkan di dalam keseluruhan pasal-pasal dalam UU Miberba. Pengelolaan pertambangan mineral dan batubara yang memenuhi persyaratan hukum serta memberikan kemanfaatan utama bagi rakyat dan Negara secara adil dan merata, tanpa melepaskan aspek kelestarian lingkungan hidup sebagai bagian dari aktivitas pertambangannya merupakan tujuan dasar yang hendak dituju dengan adanya regulasi mengenai pertambangan mineral dan batubara ini.
Kedepan UU Minerba harus memberikan peran besar kepada BUMN/D sebagai wakil Negara, sehingga dapat menempatkan azas business to business dengan Badan Usaha Milik Swasta (BUMNS) pertambangan mineral dan batubara nasional maupun internasional. Dengan menempatkan peran BUMN/D lebih proporsional akan memudahkan untuk melaksanakan reklamasi wilayah kerja pasca tambang mineral dan batubara untuk kepentingan pengembangan ekonomi masyarakat.
Pemberian peran yang proporsional kepada BUMN/D dalam pertambangan mineral dan batubara masa depan juga diperlukan untuk kepentingan pengendalian manajemen pengelolaan. Terlebih perkembangan dunia pada dekade menjelang abad XXI, semua negara industri maju baru sudah mendasarkan pada konsep State Capitalis melalui sarana pengembangan BUMN/D. poin utama state capitalis ini dimaksudkan bahwa Negara harus menggunakan pontensi kekayaan alam mineral dan batubara untuk memperbesar BUMN/D, sehingga berperan besar terhadap perekonomian nasional.
Lebih lanjut lagi, berdasarkan Pasal 33 UUD 1945, pengelolaan kekayaan mineral dan batubara alam harus mencari format jelas mengenai empat hal utama, yaitu: masalah pemahaman kedaulatan dan kemandirian usaha; kekayaan alam sebagai modal dasar Negara; format pengelolaan kekayaan alam; serta sistim Keuangan Negara yang dapat mengharmonisasi hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Politik pertambangan dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara masa depan harus memberikan peran besar kepada BUMN/D. Untuk mencerminkan kedaulatan usaha, hak atas hak mineral atau mineral right harus ditangan Negara, hak atas penambangan atau mining right harus di pemerintah dan hak atas usaha penambangan atau economic right di tangan BUMN/D; serta hubungan pengelolaan dengan perusahaan pertambangan harus berdasar pada business to business.
Oleh karena itu asas-asas ini sebagai dasar untuk pengaturan kewenangan atas mineral right, mining right dan economic right, agar Negara mempunyai kedaulatan dan kewenangan penuh untuk mengatur pengelolaan pertambangan sesuai dengan kepentingan nasional. Dengan kewenangan pengelolaan, Negara dapat mengatur sendiri mengenai optimalisasi keterlibatan nasional dan masyarakat, pengelolaan jangka panjang, dampak lingkungan, dan memanfaatkan hasil usaha pertambangan mineral dan batubara untuk kemakmuran rakyat.
Pertambangan mineral dan batubara sebagai komoditas yang tidak dapat diperbarui, ke depannya memerlukan regulasi yang dapat mendukung pengembangan sumberdaya manusia dalam penguasaan dan aplikasi teknologi. Dengan penguasaan dan aplikasi teknologi, Negara dapat mengoptimalkan usaha hilir pertambangan mineral dan batubara di dalam negeri. Penguasaan teknologi ini perlu sinergis dengan pembinaan sumber daya manusia sehingga mampu menghindari brain drain ke luar negeri.
Usaha pertambangan mineral dan batubara sebagai komoditas yang tidak terbarui memerlukan kebijakan pengelolaan yang dapat mendukung keberlanjutan usaha dengan mempersiapkan cadangan dana nasional, serta memperbesar struktur permodalan BUMN/D untuk keperluan mencari cadangan baru di dalam maupun di dalam negeri. 

B.    POIN PERUBAHAN DALAM RUU MINERBA
Perubahan UU Minerba memberikan landasan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara ke depan, harus berpegang pada prinsip kedaulatan dan kemandirian usaha bangsa Indonesia yang mengacu pada jiwa sesuai Pasal 33 UUD 1945. Tim mengatur kewenangan atas mineral right, mining right dan economic right, agar Negara dapat menyelenggarakan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara berasaskan manfaat, keadilan dan keseimbangan, ekonomi kerakyatan, keberpihakan kepada kepentingan bangsa, keterpaduan, manfaat, keadilan, keseimbangan, pemerataan, kemakmuran bersama, kesejahteraan rakyat banyak, keamanan, keselamatan, partisipatif, transparansi, akuntabilitas, berkelanjutan, kepastian hukum dan berwawasan lingkungan.
Dalam pengelolaan usaha pertambangan kekayaan alam mineral dan batubara, pembagian pendapatan antara pemilik lahan pertambangan dan BUMS pertambangan bisa terjadi pada usaha penambangan (kegiatan hulu) dan pada kegiatan hilir. Sedangkan untuk memperbesar penerimaan Negara dari pengelolaan kekayaan alam nasional mineral dan batubara - untuk pemanfaatan sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai dengan jiwa Pasal 33 UUD 1945, maka pengelolaan kekayaan alam harus mencakup sampai pada pengelolaan industri pertambangan.
Bangsa Indonesia mempunyai kekayaan mineral dan batubara demikian kaya banyak ragam dengan variasi skala cadangan, sehingga kita memerlukan teknologi dan investasi yang beragam. Pertambangan mineral dan batubara yang termasuk energi adalah komoditas bitumen padat dan gas metana batubara (GMB), dan yang masuk kategori minerba meliputi batubara, gambut, logam emas, tembaga, perak, nikel dll), bukan logam, batuan, radioaktif (uranium dll).
Untuk memudahkan dalam pengelolaan mineral dan batubara untuk kepentingan rakyat, maka perlu menyusun macam dan kualifikasi komoditas tambang strategis dan bukan strategis. Klasifikasi mineral itu sangat penting dalam penyusuan kebijakan tentang terhadap usaha hilir (terutama smelter untuk pengolahan lanjut dari produksi usaha hulu). Untuk mineral strategis kegiatan usaha hulu, hilir dan jasa penunjang akan mengoptimalkan peran BUMN/BUMD, dan untuk mineral non strategis memberikan peluang kepada BUMS, terutama untuk SME (Small and Medium Enterprises).
Untuk mewujudkan kedaulatan usaha, maka peran perusahaan tambang harus sebagai kontraktor atau partner dari BUMN/D. Dengan peran kewenangan BUMN/D, maka Negara dapat mempercepat pengelolaan pertambangan, dari kegiatan hulu menjadi kegiatan hilir, agar memberikan kesempatan kerja lebih luas dan dapat meningkatkan penerimaan Negara dari hasil pengelolaan pertambangan mineral dan batubara. Matrik perkembangan hukum pengelolaan mineral dan batubara sehubungan dengan peran Negara, Pemerintah, BUMN/D dan BUMS.
Pengelolaan pertambangan mineral dan batubara masa depan, BUMN/D harus memegang peran utama dalam pembanguan pengolahan lanjut hasil tambang (smelter), sehingga Negara dapat mengetahui secara pasti jumlah kekayaan alam yang diamanatkan oleh pasal 33 UUD 1945. Dengan memberikan peran kepada BUMN/D, Negara mempunyai peran besar terhadap perekonomian nasional, namun Negara masih mempunyai alat pengendali untuk kepentingan rakyat banyak.
Pokok pengelolaan pertambangan mineral dan batubara ke depan UU Minerba harus memberikan penegasan mengenai persepsi ‘dikuasai’ sebagai ‘pemilikan’ atas cadangan, perlakuan pertambangan sebagai modal dasar, meluruskan perlakuan hasil pengelolaan pertambangan sebagai pengeluaran, pengaturan sistim administrasi pertambangan, dan perubahan sistim administrasi keuangan negara yang dapat memperlancar hubungan keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

1.      Persepsi Pengertian ‘Dikuasai’.
Dewasa ini berkembang pemikiran mengenai pengertian ‘dikuasai’ oleh negara, yang mengarah pada pengertian pemilikan atau hanya sekedar regulasi. Perbedaan persepsi itu sering menggunakan landasan praktek di negara maju, namun jarang mereka menggunakan acuan sumber pengelolaan budaya negara berkembang. Kepentingan nasionalisme negara berkembang sering mendapat benturan dari persepsi para akademis. Negara maju mengartikan ‘dikuasai’ hanya menyangkut masalah ‘regulasi’, karena kemampuan ekonomi nasionalnya sudah kuat. Namun bagi negara berkembang seperti Kuwait, Malaysia, Vietnam, China, India masih mengartikan ‘dikuasai’ adalah ‘dimiliki’ dengan dampak penguasaan cadangan untuk kepentingan nasionalnya.
Pengertian ‘dikuasai’ oleh negara menyangkut aspek ke­daulatan yang meliputi penguasaan terhadap unsur-unsur pemilik­an dan pengelolaan usaha. Negara harus menguasai kedua unsur pokok kedaulatan ini, dan negara tidak boleh memberikan unsur kedaulatan itu kepada pihak investor atau perusahaan tambang.
Pelepasan hak usaha pertambangan dari Negara kepada BUMS tambang, dengan sistim Kontrak Karya dari PT Freeport Indonesia, Nikel dan Batubara harus menjadi pengalaman pahit bagi Indonesia, karena sistim itu hanya meninggalkan kemiskinan Pemerintah Daerah, dan justru membuat kaya perusahaan asing. Ini merupakan dampak persepsi pengertian ‘dikuasai’ hanya sekedar ‘regulasi’ atau pengaturan, tetapi bukan pemilikan cadangan.
Kondisi ini berbeda dengan sistim pengelolaan Migas, karena semua operasi dan keuangan masih dalam kendali Negara. Meskipun ada masalah yang belum memuaskan kelancaran pembagian antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, setelah penerimaan migas itu masuk ke Pemerintah Pusat. Sistim pengelolaan Migas dengan pihak eksternal sudah mendapat bagian wajar sebagai pemilik kekayaan alam, namun ada masalah internal sehubungan dengan kewajaran pembagian antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.  

2.   Pengelolaan Kekayaan Alam Sebagai Modal Dasar.
Sistim pengelolaan kekayaan alam mineral dan batubara yang menjadi persepsi umum seharusnya sebagai titipan generasi mendatang dan harus dimanfaatkan sebagai modal untuk mengembangkan BUMN/D. Negara-negara yang mendasarkan prinsip kekayaan alam mineral dan batubara sebagai “titipan” adalah Negara berkembang seperti Kuwait, Malaysia, Vietnam, China dalam pengelolaan kekayaan alam Migas.
Negara-negara itu menggunakan potensi kekayaan alam nasionalnya untuk mengembangkan BUMN/D. Cadangan dan produksi kekayaan alam mineral dan batubara menjadi milik BUMN/D, sehingga Negara bisa menggunakan menjadi leverage financing. Kita bisa membayangkan begitu kayanya potensi kekayaan alam mineral dan batubara Indonesia, seandainya cadangan emas dan batubara menjadi aset Negara, maka semua potensi kekayaan alam itu dapat menjadi aset BUMN/D untuk mendukung leverage financing sumber dana internasional demi kepentingan Negara.

3.   Pengelolaan Kekayaan Alam Sebagai Pengeluaran Negara.
Sistim pengelolaan sebagai pengeluaran negara adalah persepsi umum dalam memandang kekayaan alam mineral dana batubara sebagai ‘warisan nenek moyang’ (take it for granted), maka kita dengan mudah menyerahkan kedaulatan usaha kepada BUMS tambang, seperti praktek pelaksanaan usaha penambangan emas di Afrika Selatan.
Cadangan dan produksi emas menjadi milik MNC, oleh karena MNC milik Negara Maju, maka Bank Sentral Negara Maju dapat menggunakan cadangan emas itu menjadi leverage financing. Indonesia mengulangi kesalahan pengalaman Afrika Selatan untuk pengelolaan tambang emas, perak dan tembaga di Tembaga Pura, dengan bekerjasama dengan PT Freeport Indonesia, sehingga cadangan emas di Indonesia memperkuat kedudukan financing leverage Bank Sentral Negara Maju, dan Bank Sentral Indonesia tidak menguasai cadangan emas sebagai leverage financing.

4.    Administrasi Pengelolaan Kekayaan Alam.
Sistim Administrasi Keuangan Negara merupakan masalah sangat krusial dalam kebijakan mewujudkan Nasionalisme Ekonomi untuk membangun kemakmuran rakyat, terutama mengenai masalah hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pemerintah sebagai generasi bangsa sampai sekarang masih mempertahankan sistim Administrasi Keuangan Negara, berdasar spending budget dari warisan Negara colonial, untuk tujuan melanggengkan penjajahannya. kedepan UU Minerba harus menjadi regulasi  yang mendukung kelancaran hubungan keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, terutama dalam pembagian DBH. Sebagai saran untuk menerapkan sistim Administrasi Keuangan Negara berdasar financing budget.
Dengan financing budget dapat mengoptimalkan pemanfaatan DBH kekayaan alam mineral dan batubara untuk Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, terutama dalam pembiayaan proyek infrastruktur. Dengan sistim financing budget, Pemerintah Pusat bertindak sebagai penjamin atas proyek-proyek Pemerintah Daerah, sedangkan pihak bank atau lembaga keuangan yang membiayai proyek-proyek tersebut. Dengan demikian, bank atau lembaga keuangan dapat berkembang, dan dapat memperkecil kemungkinan kecerobahan administrasi keuangan dalam pembiayaan proyek-proyek.   
Kedepan pengelolaan kekayaan alam mineral dan batubara berdasarkan pendekatan sebagai Indonesiaan incorporated. Melalui pendekatan ini, Negara selalu memperoleh penerimaan pajak atau dividen dari partisipasi BUMN/D. Hubungan antara Pemerintah Pusat dengan BUMN dan Pemerintah Daerah dengan BUMD sebagai hubungan antara Holding Company dan Strategic Business Unit. Dengan sistim financing budget, maka BUMN dapat mengembangkan kemampuan BUMD dalam pengelolaan kekayaan alam mineral dan batubara di daerah.
Pemerintah Daerah harus menggunakan potensi kekayaan alam mineral dan batubara sebagai leverage dalam pembiayaan pembangunan infrastruktur daerah. Dengan leverage dan berdasarkan sistim financing budget, maka ada kekebasan Pemerintah Daerah untuk membiayai pembangunan insfrastruktur, berdasarkan kewajaran keekonomian projek dengan supervisi pembiayaan dari bank atau lembaga keuangan. Dengan sistim financing budget, maka Pemerintah Pusat berperan sebagai manajemen pembiayaan proyek infrastruktur, dan menyerahkan manajemen arus kas kepada sistim perbankan. Sehingga pembangunan infrastruktur harus berdasarkan proposal project sistim perbankan, dengan koleteral dari potensi kekayaan alam mineral dan batubara atau sumberdaya Pemerintah Daerah.
Dengan sistim financing budget memungkinkan menempatkan sumber APBD dari APBN, sebagai koleteral pembangunan infrastruktur daerah. Dengan cara demikian, perbankan dapat berfungsi dan berkembang dalam bisnis pembiayaan proyek atau project financing, tetapi tidak sekedar sebagai kasir proyek atau treasury project. Sedangkan control terhadap economic project mengikuti criteria investasi perbankan. Sehingga Pemerintah Pusat tidak perlu melakukan control terhadap drawdown cash flow dari Pemerintah Daerah, karena sudah menjadi kewajiban dari sistim perbankan sebagai perusahaan publik yang harus menerapkan norma good corporate governance.






Berangkat dari apa yang menjadi buah pikir dari begawan hukum progresif Alm,Prof.Dr.Sadjipto raharjo SH, dalam bahasa yang sangat lugas dan rasional beliau berkali-kali mengatakan dalam banyak tulisannya agar para pembuat aturan dan kebijakan, serta para penegak aturan dan hukum bisa memahami bahwa sesungguhnya “hukum dan aturan itu tumbuh dan berkembang bersama masyarakat, bahwa hukum dan aturan itu untuk manusia dan memanusiakan manusia, hukum harus ditegakkan namun demi keadilan hukum bisa dikesampingkan”. Hukum progresif melihat suatu persoalan atau perkara yang terjadi tidak berhenti pada ketika perkara itu terjadi, tetapi hukum progresif menarik lebih jauh lagi kebelakang mencari tau kenapa kasus, suatu peristiwa hukum atau konflik itu bisa  terjadi dan seberapa kualitas kasusnya bagaimana kondisi sosial dan para pelakunya.
Dalam hal kasus Mbok Minah yang sempat menyita mata publik di media massa beberapa waktu yang lalu misalnya, dimana Mbok Minah telah mengambil buah kakau di perkebunan milik perusahaan, oleh hukum positivistik tentu Mbok Minah harus dihukum karena terpenuhi unsur-unsur tindak pidananya yang tertulis, tetapi apakah proses hukum dan vonis yang dijatuhkan kepada Mbok Minah itu mengandung aspek adilan ? hanya karena mengambil 3 biji buah kakau Mbok Minah yang sudah tua renta harus bolak-balik mengikuti proses hukum, dan dijatuhi hukuman penjara. Tidak hanya Mbok Minah, masih ingatkah dengan kasus Marsinah, Kasus Wartawan Udin, Konflik Tanah Karet di Papua, Suyamto dan Kholil, begitu juga yang terjadi dengan nenek Asyani di Situbondo dan Kakek Harsono Taruno di Gunungkidul Yogyakarta tahun 2015.
Kasus-kasus diatas menunjukan bahwa hukum di Indoensia dapat digambarkan seperti pisau dapur yang tajam ke bawah namun tumpul ke atas, artinya terhadap “orang kecil” (the poor) hukum sangat represif sedangkan kepada “orang besar”(the have) hukum cenderung memihak. Kondisi ini menunjukan bahwa hukum sudah mengalami kebuntuan legalitas formalnya sehingga mendorong untuk memunculkan keadilan substantif. Kebuntuan ini merupakan akibat dari sikap penegak hukum yang sangat prosedural, legalistik-formalistik yang kaku, dan anti dengan inisiasi rule breaking. Dalam  kasus-kasus tertentu hukum tertulis yang kaku seringkali tidak mencerminkan rasa keadilan bagi masyarakat. Ketidak adilan yang diakibatkan lemahnya hukum tertulis ini mengharuskan aparat penegak hukum untuk berfikir progresif. Ketika keadilan sudah tidak bisa lagi dicapai dengan hukum tertulis dan prosedural, maka aparat penegak hukum harus berani menorobos norma-norma tersebut. Untuk itu, maka pola pikir para penegak hukum yang positivistik harus dirubah agar bisa melihat hukum secara lebih utuh dan menyeluruh.
Pengadilan yang merupakan representasi dari penegakan hukum dinilai banyak memberikan putusan-putusan yang tidak mencerminkan keadilan. Kegagalan pengadilan dalam mewujudkan tujuan tersebut mengakibatkan semakin meningkatkan ketidak percayaan dan derasnya arus penentang dari masyarakat terhadap lembaga ini. Tindakan penegak hukum  benar secara prosedural namun jauh dari rasa keadilan substantif. Hukum progresif melihat dan memberikan pendapat atas dasar keadilan bukan kebenaran prosedural belaka yang sering kali membungkamkan hati dan mata para penegak hukum dan pengambil kebijakan di negri ini. Padahal hukum adalah untuk manusia dan memanusiakan manusia, hukum harus detegakkan tetapi demi keadilan dapat dikesampingkan.
Menegakkan hukum menemukan keadilan substantif ini sebenarnya telah dilakukan oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi RI, banyak putusan gugatan Pengujian Undang-Undang di MK melandaskan kepada pemikiran hukum progresif, seperti putusan MK yang terkait dengan penggunaan KTP dan Paspor yang dinyatakan sah dalam pemilihan umum presiden tahun 2009 beberapa tahun yang lalu. Sengketa pemilukada yang secara prosedural dapat dibuktikan, tetapi  setelah digali ternyata proses yang dilakukan untuk memenuhi prosedural itu cacat  dan penuh dengan kecurangan sehingga merugikan orang lain. MK berkali-kali menafikan kebenaran prosedural meski dapat dibuktikan namun jika terjadi kecurang dalam prosesnya maka MK akan memberikan putusan pembatalan.
Bagaimanakah dengan konflik lahan perkebunan yang terjadi di Koto Lamo Kabupaten Rokan Hulu Riau? Konflik lahan antara PT. Sumber Arum Makmur dengan Masyarakat Tempatan Koto Lamo ini adalah konflik data, yang disebabkan karena informasi yang tidak lengkap; informasi keliru; pendapat yang berbeda tentang hal-hal yang relevan; interprestasi data yang berbeda; dan perbedaan prosedural penilaian antara pihak perusahaan PT. Sumber Arum Makmur dua (PT. SAM II) dengan Masyarakat Tempatan Koto Lamo Rokan Hulu Riau. Hal ini tentu tidak akan tercapai keadilan substantif jika yang dilihat adalah kebenaran prosedural masing-masing pihak, semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian baik secara non-letigasi terlebih jika secara letigasi, harus melihat peristiwa atau konflik tersebut mundur  kebelakang, mulai dari proses dan keterlibatan pihak-pihak yang mengakibatkan terjadinya konflik lahan tersebut.
Perusahaan SAM II mengatakan bahwa lahan seluas 1000 hektar telah dibayar(ganti rugi) apakah telah memenuhi kebenaran prosedural? Kapan, Dari siapa dan kepada siapa ganti rugi 1000 hektar itu diberikan? Dan bagaimana pula prosesnya transaksinya? Karena pihak masyarakat tidak mengakui telah menerima ganti rugi tersebut. Jika ingin dicapai rasa keadilan substantif tentu semua pihak  Mediator, baik BPN atau Pemerintah Daerah jika diselesaikan secara non letigasi, dan jika letigasi maka  para penegak hukum Kepolisian, Jaksa dan Hakim harus keluar dari lingkaran prosedural  dan legalistik yang masing-masing mengatakan pendapatnya yang benar. Karena yang namanya kebenaran prosedural  bisa saja direkayasa atau didapat dengan cara-cara yang tidak sehat. Oleh karena itu  menemukan keadilan yang substantif juga melihat aspek keadilan sosial, karena keadilan substantif dalam kasus konflik lahan di Koto Lamo akan memberikan kebahagian dan kepuasan kepada banyak orang dan masyarakat bukan kepada pihak atau oknum tertentu saja. Prof Mahfud mengatakan bahwa walaupun secara prinsip yang harus diutamakan adalah kepastian hukum, tetapi keadilan dan kemanfaatan perlu juga dijadikan sebagai titik tolak dalam memutuskan suatu perkara.

Salam Hukum Progresif...!!!

"Memaknai Hari Guru “Mari Berbenah”

Pendidikan merupakan bagian penting dalam mengisi kemerdekaan Negara ini, karena kemajuan suatu negara sangat dipengaruhi dan dilihat sejauh mana tingkat pendidikan masyarakatnya. Bicara pendidikan ada banyak hal yang mesti diperhatikan, diantaranya adalah sistem pendidikan, ada tenaga pengajar yang dikenal dengan nama guru, kemudian yang diajar disebut dengan murid atau siswa. Beberapa hari ini, dibeberapa media massa, cetak atau elektronik, baik lokal ataupun nasional menyuguhkan berita tentang peringatan Hari Guru Nasional, dan berbagai macam cara dan kegiatanpun dilaksanakan untuk memperingatinya salah satunya dengan kegiatan upacara dan lain-lain.
Besarnya jasa guru dalam dunia pendidikan tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, kemuliaan guru tidak bisa dibalas bak pepatah “Guru Tanpa Tanda Jasa”. Namun kemuliaan ini tidak lepas dari persoalan-persoalan yang selalu mengiringi perjalan  dan dinamika guru dalam pengabdianya.  Mereka di tuntut tidak hanya sebagai pendidik yang harus mampu mentransformasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, tetapi sekaligus sebagai penjaga moral bagi anak didik generasi penerus bangsa. Bahkan tidak jarang, para guru dianggap sebagai orang kedua, setelah orang tua anak didik dalam proses pendidikan secara global. Bersempena dengan memperingati Hari Guru Nasional maka, penting dimaknai untuk berbenah, terutama yang berkaitan dengan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh para guru.
Setidak-tidaknya ada empat hal yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi guru di Indonesia, yaitu : Pertama, masalah kualitas guru. Jika melihat pada Pasal 2 Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, diketahui bahwa: ayat (1) Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ini menjelaskan bahwa guru adalah kaum profesional yang mendalami satu bidang keilmuan, mentranformasikan nilai-nilai pengetahuan, mendidik, mengajar, melatih, membimbing dan mengevaluasi progres dan hasil belajar perserta didik.
Selanjutnya jika kita telaah lebih dalam lagi terkait dengan kualitas guru yang harus ditingkatkan karena tugas dan fungsinya yang sangat penting. Pasal 4 mengisyaratkan bahwa kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran yang berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Secara logika, bagaimana mungkin bisa meningkatkan mutu pendidikan nasional jika kualitas tenaga pengajar alias gurunya belum memadai.
 Sedangkan dalam Pasal 6 menyebutkan bahwa kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Dengan demikian sebenarnya berdasarkan Undang-unang Nomor 14 tahun 2005 para guru mempunyai tantangan untuk selalu meningkatkan kualitasnya sesuai dengan tugas dan fungsinya yang telah diatur dalam undang-undang tersebut.
 Kedua, masih kurangnya jumlah ketersediaan guru, hal ini terkait juga dengan maksimalisasi dalam proses belajar mengajar, karena jika gurunya kurang maka, dapat dipastikan proses belajar dan mengajarnya tidak akan maksimal, karena idealnya satu orang guru hanya maksimal untuk 15 siswa sampai dengan 25 sisiwa tetapi faktanya sampai dengan 30 siswa sampai dengan 40 siswa bahkan tidak jarang melebihi jumlah itu. Pesatnya pertumbuhan penduduk dan luasnya wilayah Indonesia seharusnya menjadi signal bagi pemerintah  baik pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah untuk lebih memperhatikan persolan ini, sehingga tidak adalagi   daerah-daerah yang sekolahnya kekurangan guru.  Yang ketiga adalah masalah pendistribusian guru. Masalah pendistribusian guru sangat erat kaitannya dengan jumlah guru yang tersedia, hingga kini jumlah guru masih belum seimbang dengan kebutuhan mengajar di Indonesia, hal ini menjadi tugasa dan tanggung jawab kita bersama terutama pemerintah agar bisa menjawab kebutuhan guru mengingat jumlah siswa dan calon siswa kian hari makin bertambah.  Terakhir  yang tidak kalah pentingnya untuk dibenahi dengan semangat hari Guru Nasional ini adalah masalah kesejahteraan guru. Persoalan kesejahteraan guru yang masih memprihatinkan. Jika kita membandingkan dengan kesejahteraan guru di luar Indonesia, Malaysia, Singapur  misalnya tetangga Indonesia masih terdapat ketimpangan, dimana terkesan jika dibandingkan pemerintah sangat memperhatikan kesejahteraan guru di Malaisyia dan Singapur, lalu bagaimana dengan Indonesia? Inilah realialitas dimana Indonesia masih belum bisa mensejahterakan guru sesuai dengan kontribusinya pencerdas anak-anak bangsa. Tetapi harapan itu selalu ada, semoga dengan memperingati Hari Guru Nasional bisa dimaknai untuk “berbenah” sehingga lahirnya semangat guru untuk selalu meningkatkan kualitasnya, adanya perhatian pemerintah untuk mendorong agar terpenuhi kebutuhan guru, adanya perhatian pemerintah untuk pendistribusian guru didaerah-daerah yang masih kekurangan guru, sehingga guru-guru yang banyak dan berkualitas tidak menumpuk dikota-kota, dan dipertahatikannya kesejahteraan guru, termasuk tenaga guru yang bersifat honorer, sehingga tidak ada lagi guru-guru yang bergaji 200 ribu-300 ribu perbulan. Karena jika kesejahteraan guru tidak diperhatikan ini menjadi persoalan yang dapat mengganggu proses belajar mengajar karena guru tidak akan fokus dan akan mencari kerja sampingan. Semoga bisa terwujud, dan selamat Hari Guru Nasional.

Picture Upload


Perusahaan di Riau “Rahmat atau Musibah” ?

Pernah dimuat di Media Cetak “Haluan Riau” Edisi 30/07/2012
  
Belum lama kita dihebohakan dengan sengketa lahan di Mesuji yang menelan korban, jahit mulut di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indoensia sengketa lahan di Pulau Padang Kepulauan Meranti dan sekarang kita dihebohkan kembali dengan berita sengketa lahan di ogah hilir, kasus suap bupati Buol dan pendudukan lahan sengketa oleh warga Sinama Nenek Kampar. Yang menjadi pertanyaan kemudaian adalah apakah kehadiran perusahaan di daerah rahmat atau musibah? Karena fakta yang kita lihat sejak kehadiran perusahaan-perusahaan di daerah hingga beroperasi dan berproduksi seringkali menyisakan konflik dan sengketa yang tiada berakhir, yang lebih menyedihkan setiap kali terjadi konflik yang akan menjadi korban tetap masyarakat yang lemah dan tidak berdaya.

Kasus Anas Urbaningrum

Kasus Anas Urbaningrum : Constitutional Justice atau Authorities Justice

Hanya ada dua persepektif paham hukum dalam penegakan hukum yang berkembang di negara-negara maju. Dua persepektif tersebut adal  constitutional justice  and social justiece Secara teoritis dapat dipahami bahwa constitutional justice (keadilan hukum) adalah paham yang melandasi bahawa pencarian kebenaran dan keadilan suatu perkara menlandaskan kepada hukum murni tanpa dipengaruhi atau terpengaruhi oleh faktor-faktor selain hukum itu sendiri. Sedangkan paham social justice (keadilan sosial) paham yang melandasi pencarian kebenaran dan keadilan suatu perkara melihat dari tuntutan atau keinginan sosial masyarakat. 

Kecanduan Korupsi

Korupsi sudah menjadi kebutuhan, dalam hidup sebelum korupsi seakan merasa ada yang kurang. Begitulah kondisi masyarakat saat ini, membasmi korupsi sama hal nya mengharamkan rokok pagi perokok, sangat sulit memang karena korupsi sudah “mencandu” dalam hidup, seperti rokok yang sudah mencandu dalam diri. Semua orang tau bahwa perbuatan korup itu tidak baik, merugikan tetapi orang tetap saja melakukannya, yang paling menyedihkan adalah pelaku perbuatan korup itu adalah kalangan pejabat, dan orang berpendidikan. Baru-baru ini kita mungkin terperangah ternyata institusi yang orang-orangnya seharusnya tidak tersetuh oleh perbuatan hina itupun ternyata diduga melakukan dan menikmati perbuatan korup (dugaan korupsi di Kemenrian Agama). Menurut penulis ada beberapa hal yang fundamental diperhatikan agar kecanduan ini tidak berkelanjutan: