Berangkat dari
apa yang menjadi buah pikir dari begawan hukum progresif Alm,Prof.Dr.Sadjipto raharjo
SH, dalam bahasa yang sangat lugas dan rasional beliau berkali-kali mengatakan
dalam banyak tulisannya agar para pembuat aturan dan kebijakan, serta para
penegak aturan dan hukum bisa memahami bahwa sesungguhnya “hukum dan aturan itu tumbuh dan berkembang bersama masyarakat, bahwa
hukum dan aturan itu untuk manusia dan memanusiakan manusia, hukum harus
ditegakkan namun demi keadilan hukum bisa dikesampingkan”. Hukum progresif
melihat suatu persoalan atau perkara yang terjadi tidak berhenti pada ketika
perkara itu terjadi, tetapi hukum progresif menarik lebih jauh lagi kebelakang
mencari tau kenapa kasus, suatu peristiwa hukum atau konflik itu bisa terjadi dan seberapa kualitas kasusnya
bagaimana kondisi sosial dan para pelakunya.
Dalam
hal kasus Mbok Minah yang sempat menyita mata publik di media massa beberapa
waktu yang lalu misalnya, dimana Mbok Minah telah mengambil buah kakau di
perkebunan milik perusahaan, oleh hukum positivistik tentu Mbok Minah harus
dihukum karena terpenuhi unsur-unsur tindak pidananya yang tertulis, tetapi
apakah proses hukum dan vonis yang dijatuhkan kepada Mbok Minah itu mengandung
aspek adilan ? hanya karena mengambil 3 biji buah kakau Mbok Minah yang sudah
tua renta harus bolak-balik mengikuti proses hukum, dan dijatuhi hukuman
penjara. Tidak hanya Mbok Minah, masih ingatkah dengan kasus Marsinah, Kasus
Wartawan Udin, Konflik Tanah Karet di Papua, Suyamto dan Kholil, begitu juga
yang terjadi dengan nenek Asyani di Situbondo dan Kakek Harsono Taruno di
Gunungkidul Yogyakarta tahun 2015.
Kasus-kasus
diatas menunjukan bahwa hukum di Indoensia dapat digambarkan seperti pisau
dapur yang tajam ke bawah namun tumpul ke atas, artinya terhadap “orang kecil”
(the poor) hukum sangat represif
sedangkan kepada “orang besar”(the have)
hukum cenderung memihak. Kondisi ini menunjukan bahwa hukum sudah mengalami
kebuntuan legalitas formalnya sehingga mendorong untuk memunculkan keadilan
substantif. Kebuntuan ini merupakan akibat dari sikap penegak hukum yang sangat
prosedural, legalistik-formalistik yang kaku, dan anti dengan inisiasi rule breaking. Dalam kasus-kasus tertentu hukum tertulis yang kaku
seringkali tidak mencerminkan rasa keadilan bagi masyarakat. Ketidak adilan
yang diakibatkan lemahnya hukum tertulis ini mengharuskan aparat penegak hukum
untuk berfikir progresif. Ketika keadilan sudah tidak bisa lagi dicapai dengan
hukum tertulis dan prosedural, maka aparat penegak hukum harus berani menorobos
norma-norma tersebut. Untuk itu, maka pola pikir para penegak hukum yang
positivistik harus dirubah agar bisa melihat hukum secara lebih utuh dan
menyeluruh.
Pengadilan
yang merupakan representasi dari penegakan hukum dinilai banyak memberikan
putusan-putusan yang tidak mencerminkan keadilan. Kegagalan pengadilan dalam
mewujudkan tujuan tersebut mengakibatkan semakin meningkatkan ketidak percayaan
dan derasnya arus penentang dari masyarakat terhadap lembaga ini. Tindakan
penegak hukum benar secara prosedural
namun jauh dari rasa keadilan substantif. Hukum progresif melihat dan
memberikan pendapat atas dasar keadilan bukan kebenaran prosedural belaka yang
sering kali membungkamkan hati dan mata para penegak hukum dan pengambil
kebijakan di negri ini. Padahal hukum adalah untuk manusia dan memanusiakan
manusia, hukum harus detegakkan tetapi demi keadilan dapat dikesampingkan.
Menegakkan
hukum menemukan keadilan substantif ini sebenarnya telah dilakukan oleh Majelis
Hakim Mahkamah Konstitusi RI, banyak putusan gugatan Pengujian Undang-Undang di
MK melandaskan kepada pemikiran hukum progresif, seperti putusan MK yang
terkait dengan penggunaan KTP dan Paspor yang dinyatakan sah dalam pemilihan
umum presiden tahun 2009 beberapa tahun yang lalu. Sengketa pemilukada yang
secara prosedural dapat dibuktikan, tetapi
setelah digali ternyata proses yang dilakukan untuk memenuhi prosedural
itu cacat dan penuh dengan kecurangan
sehingga merugikan orang lain. MK berkali-kali menafikan kebenaran prosedural
meski dapat dibuktikan namun jika terjadi kecurang dalam prosesnya maka MK akan
memberikan putusan pembatalan.
Bagaimanakah
dengan konflik lahan perkebunan yang terjadi di Koto Lamo Kabupaten Rokan Hulu Riau?
Konflik lahan antara PT. Sumber Arum Makmur dengan Masyarakat Tempatan Koto
Lamo ini adalah konflik data, yang disebabkan karena informasi yang tidak
lengkap; informasi keliru; pendapat yang berbeda tentang hal-hal yang relevan;
interprestasi data yang berbeda; dan perbedaan prosedural penilaian antara
pihak perusahaan PT. Sumber Arum Makmur dua (PT. SAM II) dengan Masyarakat
Tempatan Koto Lamo Rokan Hulu Riau. Hal ini tentu tidak akan tercapai keadilan
substantif jika yang dilihat adalah kebenaran prosedural masing-masing pihak,
semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian baik secara non-letigasi terlebih
jika secara letigasi, harus melihat peristiwa atau konflik tersebut mundur kebelakang, mulai dari proses dan
keterlibatan pihak-pihak yang mengakibatkan terjadinya konflik lahan tersebut.
Perusahaan
SAM II mengatakan bahwa lahan seluas 1000 hektar telah dibayar(ganti rugi)
apakah telah memenuhi kebenaran prosedural? Kapan, Dari siapa dan kepada siapa
ganti rugi 1000 hektar itu diberikan? Dan bagaimana pula prosesnya
transaksinya? Karena pihak masyarakat tidak mengakui telah menerima ganti rugi
tersebut. Jika ingin dicapai rasa keadilan substantif tentu semua pihak Mediator, baik BPN atau Pemerintah Daerah
jika diselesaikan secara non letigasi, dan jika letigasi maka para penegak hukum Kepolisian, Jaksa dan
Hakim harus keluar dari lingkaran prosedural
dan legalistik yang masing-masing mengatakan pendapatnya yang benar.
Karena yang namanya kebenaran prosedural
bisa saja direkayasa atau didapat dengan cara-cara yang tidak sehat.
Oleh karena itu menemukan keadilan yang
substantif juga melihat aspek keadilan sosial, karena keadilan substantif dalam
kasus konflik lahan di Koto Lamo akan memberikan kebahagian dan kepuasan kepada
banyak orang dan masyarakat bukan kepada pihak atau oknum tertentu saja. Prof
Mahfud mengatakan bahwa walaupun secara prinsip yang harus diutamakan adalah
kepastian hukum, tetapi keadilan dan kemanfaatan perlu juga dijadikan sebagai
titik tolak dalam memutuskan suatu perkara.
Salam Hukum
Progresif...!!!
I like it
ReplyDelete