Kasus Anas Urbaningrum

Kasus Anas Urbaningrum : Constitutional Justice atau Authorities Justice

Hanya ada dua persepektif paham hukum dalam penegakan hukum yang berkembang di negara-negara maju. Dua persepektif tersebut adal  constitutional justice  and social justiece Secara teoritis dapat dipahami bahwa constitutional justice (keadilan hukum) adalah paham yang melandasi bahawa pencarian kebenaran dan keadilan suatu perkara menlandaskan kepada hukum murni tanpa dipengaruhi atau terpengaruhi oleh faktor-faktor selain hukum itu sendiri. Sedangkan paham social justice (keadilan sosial) paham yang melandasi pencarian kebenaran dan keadilan suatu perkara melihat dari tuntutan atau keinginan sosial masyarakat. 

Secara praktek memang penerapan dua paham ini masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan, masih segar dalam ingatan kita kasus yang menimpa mbok Mina, yang diproses secara hukum oleh pengadilan.....karena tertangkap mengambil beberapa biji kakaou milik suatu perusahaan. Mbok Mina yang tua renta karena perbuatannya harus mempertanggung jawabkan dan menjalani proses hukum. Dalam proses penanganan perkara mbok Mina kita dapat memahmi betapa hukum itu murni dijadikan pijakan oleh lembaga yang berwewenang. Oranga-orang yang duduk dilembaga itu hampir kita simpulkan tidak memiliki hati nurani dan rasa iba, dengan tetap memproses cecara hukum terhadap nenek yang sudah tua renta. 

Lembaga hukum yang menangani kasus mbok Mina merasa telah menjalankan tugasnya sesuai dengan kewenangan dan hukum yang berlaku karena, yang ingin dicari memang adalah keadilan hukum (constitutional jusctie). Berbeda hal nya dengan kasus yang menimpa Bibid Candra M Hamzah dan Samad Riyanto, dua pimpinan komisioner KPK pada waktu itu telah diproses secara hukum karena Bibit dan Samaddituduh telah menerima suap dari Anggoro Widjojo, tersangka kasus korupsi pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu). Polisi menyatakan uang suap dengan total Rp5,1 miliar itu diberikan melalui Anggodo Widjojo (adik kandung Anggoro) dan kemudian diteruskan melalui Ary Muladi.Tetapi, yang terjadi adalah banyak masyarakat dari berbagai kalangan sosial, LSM, Aktivis dan elemen massa lainnya yang datang dari berbagai kalangan mendukung Bibid Candra dan Samad Riyanto. Sehingga Bibid dan Samad Riyanto tidak jadi diproses secara hukum. 

Mereka menolak Bibit dan Samad ditahan. Polri pun pada 3 November 2009, kemudian membebaskan Bibit danSamad. Bibid Candra dan Samad Riyanto mendapatkan keadilan bukan karena bersalah atau tidaknya berdasarkan hukum, tetapi justru Bibid dan Samad seolah dihakimi berdasarkan keadilan persektif sosial dengan desakan dan tekanan masyarakat yang diberikan kepada para penegak hukum. Kasus Bibit Candra dan Samad Riayanto salah satu contoh penerapan paham perspektif keadilan sosila (social justice).

Tetapi kita akan terperanga tentunya, ketika mengikuti proses perkara yang sedangan menimpa Anas Urbaningrum (mantan ketua umun partai demokrat), yang hingga kini masih ramai diperdebatkan dan dibicarakan oleh banyak kalangan. Mulai dari politisi, pakar hukum, mahasiswa hingga masyarakat biasa. Kita terperanga karena memang proses perkara yang dijalani oleh AU terkesan diawali bukanlah karena tekanan sosial untuk mendapatkan keadilan sosial (soscial justicie) dan bukan pula oleh karena kekuatan hukum yang kuat untuk mendapatkan keadilan hukum (constitutional justice), karena sangkaan atau isu perkara AU sebenarnya bukanlah hal yang baru melainkan sudah berhembus setahun lewat. 

Agak  terkesan aneh memang karena, KPK dengan gesit dan cepat memproses AU setelah adanya gerakan secara internal para petinggi partai demokrat yang memang dalam pemerintahan menduduki posisi strategis (penguasa) di negeri ini. Gerakan internal petinggi partai demokrat itu mencurigakanlagi ketika SBY sebagai penguasa diantara petinggi PD dan juga Penguasa (presiden) di Negeri ini (termasuk KPK karena salah satu Komis Negara)  menyampaikan kepada AU melalui publik agar AU fokus menghadapi persoalan hukum dan memeinta KPK memperjelas status hukum AU, padahal diketahui bahwa sejak diisukan setahun yang lau hingga keluarnya pidato SBY, AU tidak memiliki status hukum karena memang tidak pernah dipangil dan dimintai keterangan oleh KPK. Namun setelah pidato dan permintaan SBY, KPK tanpa memangil dan meminta keterangan terlebih dahulu langsung menetapkan AU sebagai tersangka.

SBY disuatu sisi adalah penguasa (ketua dewan pembina) diantara petinggi demokrat namun tidak bisa dipisahkan bahwa hingga 2014 sebelum pilpres maka, SBY masih tetap dan melekat pada dirinya sebagai Presiden dan penguasa di Republik ini. Sehingga dengan demikian, tidak heran jika persepsi dan kesan yang terbangun dimata publik terutama dimata loyalis AU,bahwa kasus AU  bukanlah dalam rangka mencari kebenaran dan keadilan hukum (constitutional justice) tetapi, melainkan mencari keadilan persepektif siapa yang berkuasa (justice authorities).

Nah, dalam pemahaman authorities justice maka, penguasa tentunya sah-sah saja meminta dan melakukan rekayasa hukum untuk memberikan keadilan berdasarkan persepsinya. Dan dalam hal ini maka dapat diasumsikan bahwa KPK seolah-olah menjadi alat penguasa untuk menegakkan keadilan persepektif penguasa (justice authorities) dan dipertanyakan indevendensinyaBicarajustice authorities tentunya kita tidak hanya melihat penguasa yang bercokol dipusat saja, karena bisa jadi penguasa di level lokal-pun (gubernur dan bupati) juga bisa menggunakan kekuasaannya untuk memberikan keadilan berdasarkan perspektifnya. Melihat kondisi tersebut, sebagai masyarakat hukum Indonesia tentunya kita berharap bahwa asumsi yang mengarah kepada  justice authorities hanyalah sebatas asumsi dan tidak terjadi, karena jika itu benar terjadimaka, ini akan sangat mengerikan, berbahaya dan tidak akan menyehatkan proses penegakan hukum di negeri ini.

Kasus AU menjadi momen bagi Indonesia untuk kembali melihat bagaiman proses perjalanan penegakan hukum di alam demokrasi modern yang diterapkan pasaca reformasi hingga kini. Dalam konteks paradigma penerapan paham hukum, maka  minimal ada beberapa catatan bagi kita dan menjadi pandangan kedepan agar penerapan pemahaman perspektif keadilan penguasa (justice authorities) tidak terjadi diantaranya

pertama, masyarakat Indonesia harus kembali menyadari bahwa negara Indonesia dibangun diatas pondasi hukum, bukan kekuasaan ini dengan tegas dikatakan dalam UUD 1945. 

Kedua, KPK, kepolisian, kejaksaan dan lembaga penegak hukum laiannya, sebagai lembaga negara harus menjaga indevendensinya dari pengaruh siapapun. Dan yang 

ketiga, tentunya semua masyarakat harus ikut serta menjadi pengawas dan mengawal agar semua sistem dan lembaga berjalan dan bekerja seperti yang seharusnya sesuai dengan Undang-Undang dan aturan yang sudah ada.


0 komentar:

Post a Comment