Pernah dimuat di Media Cetak “Haluan
Riau” Edisi 30/07/2012
Belum lama kita dihebohakan dengan
sengketa lahan di Mesuji yang menelan korban, jahit mulut di depan Gedung Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indoensia sengketa lahan di Pulau Padang Kepulauan
Meranti dan sekarang kita dihebohkan kembali dengan berita sengketa lahan di
ogah hilir, kasus suap bupati Buol dan pendudukan lahan sengketa oleh warga
Sinama Nenek Kampar. Yang menjadi pertanyaan kemudaian adalah apakah kehadiran
perusahaan di daerah rahmat atau musibah? Karena fakta yang kita lihat sejak
kehadiran perusahaan-perusahaan di daerah hingga beroperasi dan berproduksi
seringkali menyisakan konflik dan sengketa yang tiada berakhir, yang lebih
menyedihkan setiap kali terjadi konflik yang akan menjadi korban tetap
masyarakat yang lemah dan tidak berdaya.
Kalau melihat dari beberapa persoalan
yang menjadi akar konflik dan sengketa, sebut saja misalnya sengketa lahan PTPN
V dengan warga Senama Nenek, melalui Kompas, Selasa (24/7), Alwi Arifin sebagai
wakil masyarakat mengatakan bahwa tanah ulayat yang mereka perjuangkan itu
sudah disahkan oleh bupati pada tahun 2009. Pada tahun yang sama,
tim penyelesaian bersama yang terdiri atas unsur Komisi VI DPR, Gubernur Riau
dan Bupati Kampar telah sepakat bahwa tanah seluas 2.800 hektar milik warga
Senama Nenek dan dinyatakan engklave atau dikeluarkan dari Hak Guna Usaha (HGU)
PTPN V. Dipulau Padang Meranti dengan PT.RAPP, Di Kota Lama dan Kota Tengah
dengan PT. Sumber Jaya Indah (SJI) juga berkutat pada persoalan izin dan Hak
Guana Usaha yang diperoleh dengan yang digarap oleh Perusahaan.
Mungkin masih
banyak lagi perusahaan di Daerah Riau yang bermasalah dengan izin dan
HGU-nya yang mengakibatkan kesan telah terjadi perampasan atau penyerobotan
lahan masyarakat oleh perusahaan. Namun sayangnya dari sederatan kasus sengketa
lahan yang terjadi tidak ada penyelesaian yang konkrit baik dari pihak
perusahaan ataupun pemerintah baik di level daerah ataupun pusat. Seharusnya
perusahaan menjadi rahmat bagi masyarakat setempat karena sesuai dengan
semangatnya dan tertuang dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 Pasal (2) “Perkebunan
diselenggarakan berdasarkan atas asas manfaat dan berkelanjutan,
keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, serta berkeadilan”. Tetapi yang
terjadi malah musibah bagi masyarakat, karena apa musibah? Karena kehadiran
perusahaan yang mengkapling-kapling lahan, dulunya adalah tempat mencari hidup
masyarakat. Setelah dikapling dan ditanami oleh perusahaan masyarakat tidak
bisa lagi mencari hidup di lahan yang dulu tempat pencaharian sebagian besar
masyarakat. Jika nekat maka akan berhadapan dengan pihak yang berwajib. Kondisi
ini tak obahnya seperti dalam pepatah “Ayam mati di lumbung padi”.
Masyarakat miskin dan menderita di belekang lahannya yang luas sementara
perusahaan bertambah jaya dan kaya.
Minimal ada beberapa elemen yang harus
ikut duduk bersama membicarakannya sebagai upaya untuk menyelesaikan persoalan
tersebut diantaranya pertama, di Riau kareana ini menyangkut
sengketa lahan antara perusahaan dengan masyarakat dan objek sengketanya adalah
tanah ulayat maka sudah seharusnya lembaga yang bernama LAM Lemabaga Adat
Melayu Riau ikut andil dalam menyelesaikannya karena ini menyangkut hak
masyarakat adat, dan LAM harus berda digaris terdepan. Seharusnya LAM tidak
lagi hanya sekedar membicarakan adat dan budaya melayu diatas kertas, dari
seminar ke seminar tetapi, harus turun bersama masyarakat dan ikut dalam
menyelesaikan sengketa lahan yang terjadi. Hal ini penting karena tanah adalah
kebutuhan pokok tempat masyarakat adat tinggal, berkebun mencari kehidupan.
Penulis pikir akan lebih menyentuh masyarakat, dan sangat diharapkan.
Yang ke dua, elemen Masyarakat
yang lahannya diserobot, harus tetap menjaga agar tidak anarkis dan tetap melakukakan
upaya-upaya penyelesaian tanpa harus ada yang menjadi korban. Begitu juga pihak
perusahan apalagi sampai membayar Keamanan karena yang diinginkan masyarakat
adalah lahan yang memang tidak menjadi hak perusahaan. Perusahaan yang tidak
bersengketa harus memperhatikan masyarakat disekitar dan memenuhi
kewajiban-kewajiban yang telah diatur dalam Undang-undang seperti membagikan
kebun kepada masyarakat dengan sitem Pola Bapak Angkat (KKPA). Sehingga
kehadiran perusahaan menjadi rahmat bagi masyarakat sekitar bukan sebaliknya.
Yang ketiga, adalah elemen
Pemerintah, pemerintah juga berperan penting karena bisa saja sengketa yang
terjadi juga disebabkan oleh tangan dari permerintah, mulai dari proses
pemberian izin sampai ketidak tegasan pemerintah terhadap perusahaam yang
menggarap lahan tidak sesuai dengan izinnya, kasus yang menimpa bupati Buol
adalah contoh proses pengeluaran izin yang tidak sehat, meskipun pemerintah
mempunyai kewenangan dalam hal perizinan namun, izin yang dikeluarkan haruslah
mempertimbangkan aspek-aspek sosial dan kondisi masyarakat tempat izin lahan
yang diberikan dan harus ada ketegasan bagi perusahaan yang menggarap lahan
ternyata tidak sesuai dengan izin yang dikeluarkan.
Sebagai kesimpulan bahwa sengketa
lahan yang terjadi di banyak tempat terutama di daerah Riau, berakar dari
proses perizinana baik yang terjadi pasca reformasi apalagi di rezim orde baru,
disamping proses perizinan yang bermasalah juga terjadi ketidak sesuaian antara
izin yang diberikan dengan lahan yang di garapan perusahaan. Posisi Lembaga
Adat melayu Riau sangat startegis untuk ikut angkat bicara terkait
sengketa-sengketa lahan di Riau. Seharusnya pemerintah harus terbuka dan
mengakui bahwa kelemahan Undang-Undang Pokok Agraria juga merupakan sumber dari
persoalan, dan harus ada terobosan baru untuk penyelesaian konflik dan sengketa
lahan yang banyak terjadi di Indonesia. Sehingga kehadiran perusahaan di daerah
bisa memberikan manfaat tanpa ada konflik dan sengketa.
Perusahaan di Riau “Rahmat atau Musibah” ?