A.    IDEALITAS ASAS-ASAS DAN PRINSIP UU MINERBA
Asas atau prinsip dasar yang digunakan dalam perubahan UU Minerba meliputi empat dasar: azas manfaat, adil dan merata, kelestarian lingkungan hidup, dan kepastian hukum. Idealnya, keempat asas dasar tersebut kemudian harus terejawantahkan di dalam keseluruhan pasal-pasal dalam UU Miberba. Pengelolaan pertambangan mineral dan batubara yang memenuhi persyaratan hukum serta memberikan kemanfaatan utama bagi rakyat dan Negara secara adil dan merata, tanpa melepaskan aspek kelestarian lingkungan hidup sebagai bagian dari aktivitas pertambangannya merupakan tujuan dasar yang hendak dituju dengan adanya regulasi mengenai pertambangan mineral dan batubara ini.
Kedepan UU Minerba harus memberikan peran besar kepada BUMN/D sebagai wakil Negara, sehingga dapat menempatkan azas business to business dengan Badan Usaha Milik Swasta (BUMNS) pertambangan mineral dan batubara nasional maupun internasional. Dengan menempatkan peran BUMN/D lebih proporsional akan memudahkan untuk melaksanakan reklamasi wilayah kerja pasca tambang mineral dan batubara untuk kepentingan pengembangan ekonomi masyarakat.
Pemberian peran yang proporsional kepada BUMN/D dalam pertambangan mineral dan batubara masa depan juga diperlukan untuk kepentingan pengendalian manajemen pengelolaan. Terlebih perkembangan dunia pada dekade menjelang abad XXI, semua negara industri maju baru sudah mendasarkan pada konsep State Capitalis melalui sarana pengembangan BUMN/D. poin utama state capitalis ini dimaksudkan bahwa Negara harus menggunakan pontensi kekayaan alam mineral dan batubara untuk memperbesar BUMN/D, sehingga berperan besar terhadap perekonomian nasional.
Lebih lanjut lagi, berdasarkan Pasal 33 UUD 1945, pengelolaan kekayaan mineral dan batubara alam harus mencari format jelas mengenai empat hal utama, yaitu: masalah pemahaman kedaulatan dan kemandirian usaha; kekayaan alam sebagai modal dasar Negara; format pengelolaan kekayaan alam; serta sistim Keuangan Negara yang dapat mengharmonisasi hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Politik pertambangan dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara masa depan harus memberikan peran besar kepada BUMN/D. Untuk mencerminkan kedaulatan usaha, hak atas hak mineral atau mineral right harus ditangan Negara, hak atas penambangan atau mining right harus di pemerintah dan hak atas usaha penambangan atau economic right di tangan BUMN/D; serta hubungan pengelolaan dengan perusahaan pertambangan harus berdasar pada business to business.
Oleh karena itu asas-asas ini sebagai dasar untuk pengaturan kewenangan atas mineral right, mining right dan economic right, agar Negara mempunyai kedaulatan dan kewenangan penuh untuk mengatur pengelolaan pertambangan sesuai dengan kepentingan nasional. Dengan kewenangan pengelolaan, Negara dapat mengatur sendiri mengenai optimalisasi keterlibatan nasional dan masyarakat, pengelolaan jangka panjang, dampak lingkungan, dan memanfaatkan hasil usaha pertambangan mineral dan batubara untuk kemakmuran rakyat.
Pertambangan mineral dan batubara sebagai komoditas yang tidak dapat diperbarui, ke depannya memerlukan regulasi yang dapat mendukung pengembangan sumberdaya manusia dalam penguasaan dan aplikasi teknologi. Dengan penguasaan dan aplikasi teknologi, Negara dapat mengoptimalkan usaha hilir pertambangan mineral dan batubara di dalam negeri. Penguasaan teknologi ini perlu sinergis dengan pembinaan sumber daya manusia sehingga mampu menghindari brain drain ke luar negeri.
Usaha pertambangan mineral dan batubara sebagai komoditas yang tidak terbarui memerlukan kebijakan pengelolaan yang dapat mendukung keberlanjutan usaha dengan mempersiapkan cadangan dana nasional, serta memperbesar struktur permodalan BUMN/D untuk keperluan mencari cadangan baru di dalam maupun di dalam negeri. 

B.    POIN PERUBAHAN DALAM RUU MINERBA
Perubahan UU Minerba memberikan landasan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara ke depan, harus berpegang pada prinsip kedaulatan dan kemandirian usaha bangsa Indonesia yang mengacu pada jiwa sesuai Pasal 33 UUD 1945. Tim mengatur kewenangan atas mineral right, mining right dan economic right, agar Negara dapat menyelenggarakan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara berasaskan manfaat, keadilan dan keseimbangan, ekonomi kerakyatan, keberpihakan kepada kepentingan bangsa, keterpaduan, manfaat, keadilan, keseimbangan, pemerataan, kemakmuran bersama, kesejahteraan rakyat banyak, keamanan, keselamatan, partisipatif, transparansi, akuntabilitas, berkelanjutan, kepastian hukum dan berwawasan lingkungan.
Dalam pengelolaan usaha pertambangan kekayaan alam mineral dan batubara, pembagian pendapatan antara pemilik lahan pertambangan dan BUMS pertambangan bisa terjadi pada usaha penambangan (kegiatan hulu) dan pada kegiatan hilir. Sedangkan untuk memperbesar penerimaan Negara dari pengelolaan kekayaan alam nasional mineral dan batubara - untuk pemanfaatan sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai dengan jiwa Pasal 33 UUD 1945, maka pengelolaan kekayaan alam harus mencakup sampai pada pengelolaan industri pertambangan.
Bangsa Indonesia mempunyai kekayaan mineral dan batubara demikian kaya banyak ragam dengan variasi skala cadangan, sehingga kita memerlukan teknologi dan investasi yang beragam. Pertambangan mineral dan batubara yang termasuk energi adalah komoditas bitumen padat dan gas metana batubara (GMB), dan yang masuk kategori minerba meliputi batubara, gambut, logam emas, tembaga, perak, nikel dll), bukan logam, batuan, radioaktif (uranium dll).
Untuk memudahkan dalam pengelolaan mineral dan batubara untuk kepentingan rakyat, maka perlu menyusun macam dan kualifikasi komoditas tambang strategis dan bukan strategis. Klasifikasi mineral itu sangat penting dalam penyusuan kebijakan tentang terhadap usaha hilir (terutama smelter untuk pengolahan lanjut dari produksi usaha hulu). Untuk mineral strategis kegiatan usaha hulu, hilir dan jasa penunjang akan mengoptimalkan peran BUMN/BUMD, dan untuk mineral non strategis memberikan peluang kepada BUMS, terutama untuk SME (Small and Medium Enterprises).
Untuk mewujudkan kedaulatan usaha, maka peran perusahaan tambang harus sebagai kontraktor atau partner dari BUMN/D. Dengan peran kewenangan BUMN/D, maka Negara dapat mempercepat pengelolaan pertambangan, dari kegiatan hulu menjadi kegiatan hilir, agar memberikan kesempatan kerja lebih luas dan dapat meningkatkan penerimaan Negara dari hasil pengelolaan pertambangan mineral dan batubara. Matrik perkembangan hukum pengelolaan mineral dan batubara sehubungan dengan peran Negara, Pemerintah, BUMN/D dan BUMS.
Pengelolaan pertambangan mineral dan batubara masa depan, BUMN/D harus memegang peran utama dalam pembanguan pengolahan lanjut hasil tambang (smelter), sehingga Negara dapat mengetahui secara pasti jumlah kekayaan alam yang diamanatkan oleh pasal 33 UUD 1945. Dengan memberikan peran kepada BUMN/D, Negara mempunyai peran besar terhadap perekonomian nasional, namun Negara masih mempunyai alat pengendali untuk kepentingan rakyat banyak.
Pokok pengelolaan pertambangan mineral dan batubara ke depan UU Minerba harus memberikan penegasan mengenai persepsi ‘dikuasai’ sebagai ‘pemilikan’ atas cadangan, perlakuan pertambangan sebagai modal dasar, meluruskan perlakuan hasil pengelolaan pertambangan sebagai pengeluaran, pengaturan sistim administrasi pertambangan, dan perubahan sistim administrasi keuangan negara yang dapat memperlancar hubungan keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

1.      Persepsi Pengertian ‘Dikuasai’.
Dewasa ini berkembang pemikiran mengenai pengertian ‘dikuasai’ oleh negara, yang mengarah pada pengertian pemilikan atau hanya sekedar regulasi. Perbedaan persepsi itu sering menggunakan landasan praktek di negara maju, namun jarang mereka menggunakan acuan sumber pengelolaan budaya negara berkembang. Kepentingan nasionalisme negara berkembang sering mendapat benturan dari persepsi para akademis. Negara maju mengartikan ‘dikuasai’ hanya menyangkut masalah ‘regulasi’, karena kemampuan ekonomi nasionalnya sudah kuat. Namun bagi negara berkembang seperti Kuwait, Malaysia, Vietnam, China, India masih mengartikan ‘dikuasai’ adalah ‘dimiliki’ dengan dampak penguasaan cadangan untuk kepentingan nasionalnya.
Pengertian ‘dikuasai’ oleh negara menyangkut aspek ke­daulatan yang meliputi penguasaan terhadap unsur-unsur pemilik­an dan pengelolaan usaha. Negara harus menguasai kedua unsur pokok kedaulatan ini, dan negara tidak boleh memberikan unsur kedaulatan itu kepada pihak investor atau perusahaan tambang.
Pelepasan hak usaha pertambangan dari Negara kepada BUMS tambang, dengan sistim Kontrak Karya dari PT Freeport Indonesia, Nikel dan Batubara harus menjadi pengalaman pahit bagi Indonesia, karena sistim itu hanya meninggalkan kemiskinan Pemerintah Daerah, dan justru membuat kaya perusahaan asing. Ini merupakan dampak persepsi pengertian ‘dikuasai’ hanya sekedar ‘regulasi’ atau pengaturan, tetapi bukan pemilikan cadangan.
Kondisi ini berbeda dengan sistim pengelolaan Migas, karena semua operasi dan keuangan masih dalam kendali Negara. Meskipun ada masalah yang belum memuaskan kelancaran pembagian antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, setelah penerimaan migas itu masuk ke Pemerintah Pusat. Sistim pengelolaan Migas dengan pihak eksternal sudah mendapat bagian wajar sebagai pemilik kekayaan alam, namun ada masalah internal sehubungan dengan kewajaran pembagian antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.  

2.   Pengelolaan Kekayaan Alam Sebagai Modal Dasar.
Sistim pengelolaan kekayaan alam mineral dan batubara yang menjadi persepsi umum seharusnya sebagai titipan generasi mendatang dan harus dimanfaatkan sebagai modal untuk mengembangkan BUMN/D. Negara-negara yang mendasarkan prinsip kekayaan alam mineral dan batubara sebagai “titipan” adalah Negara berkembang seperti Kuwait, Malaysia, Vietnam, China dalam pengelolaan kekayaan alam Migas.
Negara-negara itu menggunakan potensi kekayaan alam nasionalnya untuk mengembangkan BUMN/D. Cadangan dan produksi kekayaan alam mineral dan batubara menjadi milik BUMN/D, sehingga Negara bisa menggunakan menjadi leverage financing. Kita bisa membayangkan begitu kayanya potensi kekayaan alam mineral dan batubara Indonesia, seandainya cadangan emas dan batubara menjadi aset Negara, maka semua potensi kekayaan alam itu dapat menjadi aset BUMN/D untuk mendukung leverage financing sumber dana internasional demi kepentingan Negara.

3.   Pengelolaan Kekayaan Alam Sebagai Pengeluaran Negara.
Sistim pengelolaan sebagai pengeluaran negara adalah persepsi umum dalam memandang kekayaan alam mineral dana batubara sebagai ‘warisan nenek moyang’ (take it for granted), maka kita dengan mudah menyerahkan kedaulatan usaha kepada BUMS tambang, seperti praktek pelaksanaan usaha penambangan emas di Afrika Selatan.
Cadangan dan produksi emas menjadi milik MNC, oleh karena MNC milik Negara Maju, maka Bank Sentral Negara Maju dapat menggunakan cadangan emas itu menjadi leverage financing. Indonesia mengulangi kesalahan pengalaman Afrika Selatan untuk pengelolaan tambang emas, perak dan tembaga di Tembaga Pura, dengan bekerjasama dengan PT Freeport Indonesia, sehingga cadangan emas di Indonesia memperkuat kedudukan financing leverage Bank Sentral Negara Maju, dan Bank Sentral Indonesia tidak menguasai cadangan emas sebagai leverage financing.

4.    Administrasi Pengelolaan Kekayaan Alam.
Sistim Administrasi Keuangan Negara merupakan masalah sangat krusial dalam kebijakan mewujudkan Nasionalisme Ekonomi untuk membangun kemakmuran rakyat, terutama mengenai masalah hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pemerintah sebagai generasi bangsa sampai sekarang masih mempertahankan sistim Administrasi Keuangan Negara, berdasar spending budget dari warisan Negara colonial, untuk tujuan melanggengkan penjajahannya. kedepan UU Minerba harus menjadi regulasi  yang mendukung kelancaran hubungan keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, terutama dalam pembagian DBH. Sebagai saran untuk menerapkan sistim Administrasi Keuangan Negara berdasar financing budget.
Dengan financing budget dapat mengoptimalkan pemanfaatan DBH kekayaan alam mineral dan batubara untuk Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, terutama dalam pembiayaan proyek infrastruktur. Dengan sistim financing budget, Pemerintah Pusat bertindak sebagai penjamin atas proyek-proyek Pemerintah Daerah, sedangkan pihak bank atau lembaga keuangan yang membiayai proyek-proyek tersebut. Dengan demikian, bank atau lembaga keuangan dapat berkembang, dan dapat memperkecil kemungkinan kecerobahan administrasi keuangan dalam pembiayaan proyek-proyek.   
Kedepan pengelolaan kekayaan alam mineral dan batubara berdasarkan pendekatan sebagai Indonesiaan incorporated. Melalui pendekatan ini, Negara selalu memperoleh penerimaan pajak atau dividen dari partisipasi BUMN/D. Hubungan antara Pemerintah Pusat dengan BUMN dan Pemerintah Daerah dengan BUMD sebagai hubungan antara Holding Company dan Strategic Business Unit. Dengan sistim financing budget, maka BUMN dapat mengembangkan kemampuan BUMD dalam pengelolaan kekayaan alam mineral dan batubara di daerah.
Pemerintah Daerah harus menggunakan potensi kekayaan alam mineral dan batubara sebagai leverage dalam pembiayaan pembangunan infrastruktur daerah. Dengan leverage dan berdasarkan sistim financing budget, maka ada kekebasan Pemerintah Daerah untuk membiayai pembangunan insfrastruktur, berdasarkan kewajaran keekonomian projek dengan supervisi pembiayaan dari bank atau lembaga keuangan. Dengan sistim financing budget, maka Pemerintah Pusat berperan sebagai manajemen pembiayaan proyek infrastruktur, dan menyerahkan manajemen arus kas kepada sistim perbankan. Sehingga pembangunan infrastruktur harus berdasarkan proposal project sistim perbankan, dengan koleteral dari potensi kekayaan alam mineral dan batubara atau sumberdaya Pemerintah Daerah.
Dengan sistim financing budget memungkinkan menempatkan sumber APBD dari APBN, sebagai koleteral pembangunan infrastruktur daerah. Dengan cara demikian, perbankan dapat berfungsi dan berkembang dalam bisnis pembiayaan proyek atau project financing, tetapi tidak sekedar sebagai kasir proyek atau treasury project. Sedangkan control terhadap economic project mengikuti criteria investasi perbankan. Sehingga Pemerintah Pusat tidak perlu melakukan control terhadap drawdown cash flow dari Pemerintah Daerah, karena sudah menjadi kewajiban dari sistim perbankan sebagai perusahaan publik yang harus menerapkan norma good corporate governance.